Asal Cuap : Apakah Anda Ingin Menjadi Penyanyi?


Apakah anda bercita-cita ingin menjadi seorang penyanyi besar? Seorang Diva? Jika jawabannya adalah, ya, tidak ada yang salah. Seseorang bebas untuk memilih menjadi apa saja sebagai pilihan pekerjaan untuk hidup. Hanya saja - mungkin hanya saya seorang yang berpikiran seperti ini – di era sekarang ini, di mana teknologi sudah menjamah pada hal-hal yang sebelumnya paling tak dipikirkan manusia, memilih untuk menjadi seorang penyanyi seperti memilih untuk melakukan hal yang sia-sia.
Jika anda ingin menjadi penyanyi kafe atau panggung-panggung konser atau penyanyi di resepsi pernikahan atau semacamnya, maka itu tak bermasalah sama sekali, karena anda bernyanyi lalu dibayar dan selesai. Tapi maaf, saya berbicara mengenai menjadi seorang penyanyi yang ingin membuat dan menjual lagu atau album dan mencatatkan diri sebagai salah satu dari para legenda negeri. Seperti Koes Plus, Rhoma Irama, Chrisye, Broery Marantika, Iwan Fals dan banyak nama besar penyanyi Indonesia, atau super grup semacam Dewa 19, Sheila On 7, Padi dan lain-lain yang albumnya terjual jutaan kopi pada masanya.
Sekarang ini kita sampai pada sebuah era di mana teknologi begitu memanjakan manusia dalam banyak hal. Termasuk teknologi yang berhubungan dengan audio di mana musik dan seni suara tidak lepas dari itu. Sayangnya kemajuan teknologi secara perlahan tetapi pasti membunuh kreativitas dalam musik dan seni suara yang telah menempuh perjalanan panjang bersama sejak teknologi yang memungkinkan musik dan seni suara dapat direkam dan didengar berulang-ulang oleh manusia ditemukan.
Pada masa lalu musik direkam pada piringan besar dan dapat diputar ulang. Seiring waktu kemudian bermunculan orang-orang yang menciptakan lagu dan mengaransemen musik serta merekam dan menjualnya sebagai hiburan. Dan seiring waktu pula, muncul nama-nama yang semakin dikenal dengan hasil karyanya. Teknologi tidak berdiam diri, atas nama membuat kesempurnaan dan agar bisa dinikmati semua orang, teknologi terus berinovasi.
Piringan hitam mulai dianggap mahal dan ketinggalan ketika muncul bentuk rekaman yang lebih murah dan bisa dinikmati lebih banyak orang, yaitu kaset pita. Era ini bertahan cukup lama hingga dekade awal 2000-an. Pada era ini begitu banyak nama mencuat silih berganti di dunia musik Indonesia dengan karya-karya musiknya. Dunia musik Indonesia begitu penuh warna karena kreativitas mereka untuk merebut hati masyarakat penikmat musik. Itu adalah era di mana karya seni benar-benar dihargai sebagaimana mestinya. Mereka membuat karya, dan orang yang ingin menikmatinya membayar dengan pantas.
Tapi ketika teknologi digital mulai merambah ke industri rekaman, kaset pita seakan menjadi sebuah teknologi kuno yang sangat tidak praktis dan harus segera ditinggalkan. Piringan dalam bentuk yang lebih kecil yang kemudian dikenal dengan nama Compact Disc (CD) lah yang membuatnya demikian. Ia datang dengan harga yang jauh lebih mahal atas nama semua kemudahan yang dibawanya. Seperti kita ketahui, tak seperti kaset pita di mana kita harus mendengar rekaman sesuai urutannya, CD menawarkan sesuatu yang menggiurkan, anda bisa memilih lagu yang ingin anda dengar cukup hanya dengan menekan tombol nomor urutan lagu pada remote atau tombol CD playernya. Jadi meski kapasitas penyimpanannya hampir sama dengan kaset pita, dengan kemudahan itu kemudian membuat orang beralih ke CD dan CD player. Kaset pita dan Tape yang menghibur selama beberapa dekade mulai menjadi barang usang yang menggelikan.
Sayang sekali, harga CD terlalu mahal meski ia membawa banyak kemudahan dan sedikit prestis. Pada era inilah mulai muncul masalah yang berhubungan dengan dunia musik, dunia kreativitas seni mulai tidak berharga. Pada era ini, teknologi komputasi mulai menawarkan banyak kemudahan untuk menunjang kehidupan termasuk dalam industri rekaman. Komputer sanggup mengolah sebuah produk rekaman dalam bentuk digital sehingga lebih mudah dalam penggandaannya. Hal ini yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin ikut menangguk untung dengan menggandakan sebuah produk rekaman secara ilegal dan menjualnya.
Masyarakat “menyambut baik” hal ini dan produk rekaman ilegal yang dikenal dengan CD bajakan marak dibeli karena harganya yang murah dengan kemudahan yang sama dengan produk asli dan resmi. Seperti para “pembuatnya”, masyarakat pun tak peduli dengan hak cipta ataupun pencurian kreativitas di mana mereka ikut melakukannya. Mereka hanya peduli dengan harga murah dan mengikuti tren perkembangan teknologi, meski tanpa mereka sadari, ada pihak yang sangat dirugikan.
Banyak musisi yang mencoba angkat suara untuk menentang pembajakan yang perlahan semakin tak terkendali. Sebagian malah berhenti berkarya karena merasa akan sia-sia saja. Mereka bersusah payah membuat karya, dan orang menikmatinya tanpa penghargaa apa-apa. Pemerintah mencoba ikut mengatasi, pihak berwajib mencoba memberantas pembajakan. Hasilnya nol. Ketika di satu orang ditangkap, akan muncul orang di tempat lain dan begitu seterusnya karena hukum yang lemah, dan peraturan ditegakkan setengah hati.
Belum lagi fenomena CD selesai, kemudian muncul lagi teknologi yang lebih canggih. Ia dinamakan DVD. Bentuknya sama dengan CD tapi dengan kapasitas penyimpanan dalam jumlah lebih besar. Kaset pita atau CD akan mampu menyimpan lagu maksimal 15 – 20 saja, tapi pada DVD dengan format MP3 bisa tersimpan ratusan lagu yang boleh jadi tak akan habis diputar sepanjang anda tidur semalaman. Fenomena DVD diiringi dengan semakin canggihnya teknologi komputer dalam hal olah digital. Di komputer, sebuah lagu akan terlihat sebagai sebuah data digital yang bisa dengan mudah dipindah atau digandakan cukup hanya dengan copy dan paste, atau ditanamkan dalam sebuah keping DVD atau CD kosong yang dikenal dengan proses Burning.
Belum lagi selesai, muncul kemudian sebuah alat penyimpanan data yang bisa dengan mudah dihubungkan dengan komputer yang disebut flashdisk seiring dengan kemunculan teknologi plug in komputer bernama Universal Serial Bus atau USB. Ia memiliki kapasitas penyimpanan yang beragam dan dapat menyimpan berbagai macam bentuk data komputer termasuk lagu yang dikenal sebagai MP3. Anda tinggal mencolokkan flashdisk ke soket USB dalam sekejap piranti itu akan dikenali komputer dan kita bisa memindah data dari komputer ke dalam flashdisk jauh lebih cepat dari anda memasak mi instan.
Teknologi seperti sebuah cengkeraman yang menjamah semua sendi kehidupan manusia. Bahkan audio kemudian tertanam mengikuti bermacam teknologi lain yang dibenamkan pada piranti telepon seluler. Proses memasukkan datanya pun sama mudahnya dengan memasukkan data ke flashdisk. Musik bukan lagi sesuatu yang repot dan mahal. Untuk mendengar musik tak lagi harus membeli seperangkat tape yang memenuhi ruang tamu serta setumpuk kaset. Musik bisa didownload secara bebas dari internet, mengambil dari komputer, atau meminta lagu teman dengan teknologi bluetooth yang memungkinkan mengirimkan data tanpa kabel terhubung.
Lalu, bagaimana sebuah karya musik akan mendapat harga yang pantas, jika sebuah produk rekaman bisa dengan begitu cepat tersebar tanpa banyak alat. Dulu jika anda mempunyai kaset penyanyi kesayangan, dan teman anda meminjamnya, maka anda tidak akan bisa mendengarkan lagunya untuk beberapa waktu sampai kaset itu dikembalikan. Sekarang? Anda bisa memberikan lagu dari penyanyi kesayangan anda pada teman anda tanpa kehilangan apa-apa, tapi teman anda ikut memilikinya. Itu hal yang tak akan pernah dibayangkan oleh seorang Albert Einstein sekalipun. Teknologi memanjakan kita bukan? Tapi coba sedikit kita luangkan waktu untuk melihat geliat musik Indonesia sekarang ini dengan tahun 70-an hingga akhir 90-an. Jika anda generasi yang lahir sebelum tahun 2000-an anda akan bisa merasakannya. Mereka dengan genre masing-masing berlomba memikat masyarakat dengan karya-karya mereka dalam sebuah album, karena pasti kerja keras mereka akan mendapat harga yang pantas. Album mereka dibeli para penggemar dan jika masyarakat menyukai, kaset-kaset mereka laku keras bahkan bisa menembus angka penjualan yang fantastis.
Sekarang ini, berapa banyak musisi yang produktif membuat karya? Bukan karena mereka tidak mau atau tidak mampu membuat karya, tapi karena kerja keras mereka sekarang sia-sia. Satu orang mungkin akan mendownload lagu mereka di situs resmi dengan biaya tertentu. Tapi ketika ia membaginya kepada orang lain melalui bluetooth, apakah sebuah karya berharga?
Maka saran saya jika anda ingin menjadi penyanyi atau musisi sekarang ini, berharaplah anda laris show atau konser dan nyanyikan lagu apa saja dan siapa saja, sebab anda tak akan bisa berharap banyak dari mencipta dan menjual karya anda. Teknologi memanjakan kita, tapi di sisi lain, teknologi merampas sesuatu yang bernama penghargaan, karena teknologi hanya menghargai kemudahan.

2 komentar:

  1. Saya ingin jadi wiraswara atau penggerong saja.

    BalasHapus
  2. Halo Pak De.... wah, seneng ketemu panjenengan di mana-mana

    BalasHapus