Cerpen : Aku dan Cemburu
Pagi ini aku baru sadar, ternyata aku juga bisa
cemburu, meski aku enggan mengakuinya. Mungkin karena selama ini aku merasa,
aku adalah laki-laki paling toleran, dan cuek.
Saat aku bangun dan teringat akan laki-laki tampan
yang memboncengkan Airin dua hari lalu – yang memicingkan matanya padaku dan
Airin menggelayut mesra padanya – aku jadi tak yakin kalau aku tak terbakar hawa
panas yang bernama cemburu. Mungkin benar laki-laki ganteng itu teman kantornya
dan tak ada hubungan apa-apa dengan Airin. Tapi aku tak yakin jika laki-laki
itu, tak naksir Airin.
“Oke, aku kalah, aku cemburu. Tapi, kau tak
selingkuh, kan?” aku menceracau sendiri dalam gelisahku di tepi kasur.
“Kau masih kuat bertahan kan, Airin? kau belum
akan meninggalkan aku, bukan?”
Aku bangkit dan melihat diriku sendiri di kaca
cermin.
“Kau mulai tak percaya diri karena pacarmu ini
sampai detik ini masih pengangguran, entah hingga berapa hari, minggu, bulan,
atau tahun ke depan ?”
Entahlah, mungkin memang benar bahwa menganggur
akan membuat orang menjadi sensitif. Mungkin aku tak akan cemburu kalau aku ini
bekerja dan, punya uang. Jangankan melihat Airin dibonceng laki-laki tampan
itu, Airin diambil pun tak akan membuat aku menganggapnya sebagai kiamat dunia.
Meski sampai saat ini Airin masih mengerti aku. Tapi ada kan gadis lain yang
mungkin lebih baik darinya?
Tapi sekali lagi, itu kalau aku bukan penganggur. Dalam
kenyataan yang tak sejalan ini, pagi menjadi terasa mungkin seperti pagi di
Pearl Harbor, saat serangan udara Kamikaze
bagaikan ribuan lebah yang memporak-porandakan pasukan Amerika yang masih
leha-leha.
Ini tidaklah baik untukku. Aku jadi enggan untuk
mandi. Yang terlintas di benakku hanya ingin marah. Mulutku hampir tak berhenti
bergumam, sebelum akhirnya aku sadar bahwa ini tak menyelesaikan apapun,
kecuali menambah beban mentalku.
Semangkuk mie instan kemudian sejenak membuatku
bisa meredakan kegelisahan yang tiba-tiba menggerayangi di pagi yang sebenarnya
cerah ini. Membuatku lupa untuk mencuci muka dan, mungkin ini poin jelek lain
dari penganggur, sensitif, gelisah, dan selalu lapar.
Masuk akal kalau Airin mulai tak percaya diri.
Mungkin saat ini dia tengah berpikir untuk mempertimbangkan lagi statusnya
sebagai pacarku karena melihat aku yang terus menerus menganggur.
Sayangnya tivi yang kunyalakan kemudian malah
membuatku kembali pada kegelisahan yang sempat mereda itu. Entah itu sindiran
untukku atau aku yang terlalu dalam berpikir. Hampir setiap stasiun tv
menyajikan menu gosip orang terkenal tentang romantika kehidupannya. Perselingkuhan,
perceraian, yang bagiku sangat mengerikan untuk kutonton saat ini.
Kalau aku orang terkenal, mungkin wartawan-wartawan
itu akan datang padaku dan memenuhi teras rumahku.
“Bagaimana tanggapan anda tentang Airin yang
berboncengan mesra dengan laki-laki ganteng itu tempo hari?”
Apa yang akan aku katakan? Apa aku harus
ikut-ikutan bersikap pura-pura cuek dan sok
gentleman dengan mengatakan bahwa aku biasa-biasa saja dan meyakinkan
mereka bahwa itu hanya teman Airin, sementara aku sebenarnya cemburu dan bukan
main gelisahnya aku karena itu?
‘Hello, hati kecilku?’
‘Apa?’
‘Kau cemburu ya?’ kata itu terus bergema
berulang-ulang di dinding hatiku.
Apa yang akan kau katakan, Airin. Kalau aku
ceritakan kegelisahanku pagi ini, rasa cemburu ini. Kau akan tersanjung dan
menguatkan peganganmu pada keyakinan janji kita, lalu kau mencoba meyakinkanku?
Atau akan kau picingkan matamu yang bening itu dan kau tambah dengan senyum
sinis karena pacarmu ini pengangguran, dan kau lelah tak menemukan harapan
apa-apa?
Aku merasa baru saja menjadi laki-laki paling
cengeng, loyo, sensitif dan pengecut. Menjadi laki-laki dengan nyali ciut.
‘Hai, kau. Lakukan sesuatu. Kenapa kau jadi
onggokan sampah tak berguna? Cemburu pasti akan pernah dirasakan oleh siapa
saja yang berpikir, tapi takkan pernah diperlihatkan oleh siapa saja yang lebih
berpikir. Airin takkan membuatmu cemburu kalau kau mampu membuatnya berpikir
lebih baik tentang dirimu.’
‘Apa yang akan membuatnya berpikir?’
‘Kau harus membuatnya bangga menjadi pacarmu, dan
menghargaimu lebih dari yang pernah dia lakukan sebelumnya.
‘Caranya?’
‘Kau harus bekerja. Itu yang penting. Kebanggaan
macam apa yang bisa dibanggakan dari penganggur?’
Siang berlalu dalam alur yang lebih tenang. Aku
melihat Ibu pulang dari sekolah tempatnya mengajar dengan senyum. Begitu juga
Lia, adikku. Aku mencoba ikut larut dalam suasana dua hati itu, meski suasana
hatiku tak sejalan dengan mereka. Tapi lumayan, itu membuatku sedikit lebih
tenang sekarang.
“Andi telepon, nih!” seru Lia, padahal aku ada di dekatnya,
menemaninya membuka kembali buku-buku pelajarannya. Lia menyerahkan teleponnya.
“Halo….”
“Kau harus berangkat ke Bandung besok sore,” tak
ada basa-basi sedikit pun dari Andi di seberang telepon, langsung bak, buk,
“harus berangkat, kalau tidak, aku mengundurkan diri dari posisiku sebagai temanmu!”
Aku diam karena masih bingung.
“Kutunggu di stasiun lusa pagi,” sambungnya lagi,
tak ada sela untukku.
“Maksudmu?”
“Kau mau pekerjaan tidak? Sudah, aku sudah
mati-matian berjuang demi satu tempat di sini untuk kau. Berangkat dan titik,
aku sedang sibuk!”
Aku bingung lagi, harus senang atau biasa saja.
Harus jingkrakan atau merobohkan rumah ini sekalian untuk merayakan kejutan dari
Andi.
“Kenapa kau senyum-senyum sendiri? Sudah gila kau?”
tanya Lia.
Ah, aku tak peduli sekarang. Jangankan dikatakan
gila, Airin diambil laki-laki tampan itu juga aku takkan ambil pusing lagi.
Rasa cemburuku sudah hilang, dan aku tak ingat lagi rasanya seperti apa.
0 komentar:
Posting Komentar