Cerpen : Mencuri Waktu Bersama Dyah Ayu



 



Aku duduk bersama Dyah Ayu di hamparan pasir pantai pada senja sambil memandangi ombak kecil. Ombak yang berkejaran berebut mencumbu bibir pantai. Langit dengan warna lembayung sayunya, tak terkata lagi. Serupa dengan warna-warna bahagia yang membaluri hatiku, dan hatinya, kurasa.
Aku telah melewatkan waktu-waktu curian yang tak berapa lama, tapi begitu berharga untuk menumpahkan dan meneguk cinta, bersama Dyah Ayu. Bertualang.
Aku membuang pandang. Menekuri lekuk demi lekuk bukit menjulang, pada pulau di seberang. Pulau itu pulau kenangan, pulau dengan cita rasa petualangan. Aku dan Dyah Ayu selalu mencuri waktu untuk bisa kembali ke pulau itu. Bertualang. Tapi senja ini, Dyah Ayu bersikeras tak ingin pergi menyeberang ke sana.
“Belakangan anak-anak mengikutiku, aku hampir tak bisa melarangnya,”
“Anak-anak? Kita berada jauh dari mereka,” sahutku. Entah, apa dia tahu aku tak sabar lagi untuk kembali ‘bertualang’.
Ia tersenyum, “mereka memang tak akan menemukanmu ketika kau pergi puluhan bahkan kadang ratusan kilometer dari mereka. Tapi tentu kau ingat, mereka bisa menerobos masuk kapan pun mereka mau, sewaktu-waktu.”
“Aku tak tahu yang kau bicarakan. Yang aku tahu, kau membuatku bingung.”
“Tidak,” ia menggeleng, “ada tempat di mana ada pintu yang dengan mudah bisa mereka temukan, lalu mereka masuk begitu saja.”
Aku memandangnya lekat-lekat, dan ia melakukan hal yang sama.
“Di sini, lalu di dalam sini,” ia menunjuk keningnya, lalu ke dada. “Jangan katakan kalau pintu hatimu terbuat dari kayu bebal dan anak-anak tak pernah bisa membuka dan memasukinya.”
Ah, desisku setelah beberapa lama. Tentu saja, kadang anakku datang dan masuk dalam pikiran dan hatiku. Merengekkan sesuatu, membuat keasyikan dan kenikmatan di pulau petualangan terganggu.
“Aku melupakannya saja, karena mereka akan membuat kekacauan. Aku baru mengingatnya ketika aku kembali,” sahutku.
“Aku juga begitu,” ia berkata, “tapi belakangan mereka tak mau pergi kalau sudah datang menyusul. Mereka terus merengek dan memintaku untuk pulang. Bahkan, baru saja mereka memintaku untuk mengakhiri ini.”
“Bagus sekali,” tukasku, “kau ingin mengakhiri ini. Tapi mestinya kau memberiku alasan yang lebih masuk di akalku dari pada bersembunyi di belakang anal-anak.”
“Apapun, aku mulai tak bisa menikmati ini ketika anak-anak sudah datang menyusul. Aku tak bicara takut, tak pula bicara dosa, tapi wajah anak-anak sungguh membuatku sedih. Seharusnya mereka memiliki ibu yang baik, bukan ibu yang selalu meninggalkan mereka untuk bersenang-senang dengan orang yang bukan ayah mereka dan melupakan mereka.”
“Jadi, kau benar ingin mengakhiri ini?”
“Aku tak yakin. Aku mencintaimu, tapi, entahlah. Anak-anak mulai memaksaku untuk menelisik lagi.”
Menelisik lagi. Kata apa itu.
“Harman mulai curiga?”
Ia menggeleng.
Ah, ia sungguh aneh petang ini. Bukan manja seperti biasa. Jika pun ia bicara tentang anak-anak, maka ia akan bercerita tentang kelucuan mereka, atau, taktik baru agar anak-anak mau ditinggal untuk, pergi bersamaku.
Tapi pada petang di pantai ini ia menceracau tentang anak-anak yang ia katakan terus mengikutinya. Entah apa yang terjadi pada ia dan anak-anaknya.
“Aku memikirkanmu ketika aku ada bersama mereka di rumah. Tapi, aku memikirkan mereka sekarang ini. Aku merasa ada di persimpangan. Sepertinya sudah saatnya aku memilih.”
“Apa yang akan kau pilih?”
“Kurasa kau tahu, kau akan memilih apa.”
“Kau akan memilih sekarang?”
“Aku belum tahu...”
Aku meneruskan diamku. Matahari sejenak telah menyelam dalam ke laut. Aku merasa kisahku bersamanya tiba-tiba saja sudah tiba di ‘ujung petang’, berhias lembayung beserta debaran gelisah. Mungkin sebentar lagi malam akan menelan dalam-dalam kisah ini. Seperti cakrawala laut sepanjang ujung pantai dan pulau kenangan menelan matahari jauh ke dalam.
“Aku tahu kau keberatan,” gumamnya, “tapi pernahkah terpikir olehmu bahwa sekarang ini mungkin kau sedang berada di sini bersama Maharani, setelah sebelumnya bicara tentang meeting dengan klien padaku lewat telepon, seandainya kita menikah dulu?”
Aku masih diam. Kata-katanya leluasa mengurai di otakku.
Mungkin saja.
“Aku tak tahu, sebodoh apa kita. Tapi kurasa, kita berempat memang sangat bodoh,” kata Dyah Ayu lagi.
Kita? Berempat? Apa yang dia bicarakan?
Aku mengungkap pertanyaanku dengan pandanganku.
“Kau yakin Maharani percaya padamu?”
“Aku tak tahu. Tapi dia ibu yang baik untuk anak-anak.”
“Kau percaya padanya?”
“Kurasa begitu, kenapa?”
Ia tertawa, “mereka sama dengan kita.”
“Mereka? Siapa?”
“Kau ini terlalu sibuk menikmati kepuasan dari rasa pintarmu mengelabui Maharani, sampai kau lupa bahwa kau sendiri bisa dikelabui Maharani.”
Aku mulai tak nyaman dengan arah pembicaraannya. Ia sepertinya memang telah berubah. Kata-katanya membuat pulau kenangan yang menghitam oleh malam itu seakan tak pernah memberiku kenangan indah.
“Harman dan Maharani telah memulainya lebih dulu dari kita. Kisah mereka dulu lebih istimewa. Kau tahu, mereka jauh lebih sentimentil. Mereka juga selalu mencuri waktu seperti yang kita lakukan untuk pergi bersama.”
Ada hawa panas yang tiba-tiba menyesak dalam hati dan pikiranku. Ia pasti berbohong. Kurasa ia sedang mencari cara untuk mengakhiri dengan membuat kebohongan tentang Maharani.
 “Itulah kenapa aku meneleponmu. Harman harus tahu bahwa bukan dia saja yang bisa melakukan itu. Maka aku mencoba mencari kembali apa-apa yang ada pada nostalgia bersamamu, dan sungguh, aku menikmati waktu-waktu itu. Tapi tentang anak-anak, belakangan aku merasa sangat bersalah.”
“Kau bohong kan, tentang Maharani?” aku mencoba meyakinkan bahwa itu kebohongannya saja.
“Kurasa kecerdasan emosionalnya jauh lebih stabil darimu. Ia tahu tentang kita, maka ia mungkin terlihat bodoh olehmu. Aku pernah datang menemuinya ketika aku tahu ia selalu mencuri waktu untuk bernostalgia bersama Harman. Kau tahu, ia telah memulainya jauh lebih dulu, maka kau percaya wajah tak berdosanya.”
Aku kembali diam. Maharani? Benarkah begitu? Lebih dulu?
“Jadi kau benar-benar tak tahu, ya?”
Pertanyaannya terasa mengolok.
“Itulah yang terjadi dengan kita berempat. Aku tak peduli lagi dengan Harman. Aku tak peduli kalau dia benar-benar akan memilih Maharani, tapi aku telah memutuskan untuk memilih anak-anak,” ungkap Dyah Ayu.
“Pilihlah cinta kita, biar kita semua impas,” ujarku. Separuh memohon.
“Tidak, aku memilih anak-anak.”
“Kenapa?”
“Mereka takkan mengkhianati.”
“Bukankah Harman...?”
“Aku memilih anak-anak, bukan Harman.”
“Biarkan takdir menyatukan kembali mereka, dan menyatukan kembali kita,” aku memohon lagi.
“Aku akan keluar dari garis bodoh yang menghubungkan kita berempat,” cetusnya, “kau kembali padaku, dan Harman kembali pada Maharani. Kau pikir itu selesai? Tidak. Kau akan mencari waktu untuk bersama Maharani, dan Harman mencari waktu bersamaku. Kau dan Harman, mempunyai cinta yang sama padaku dan pada Maharani. Kita akan tetap bodoh, dan anak-anaklah korbannya. Ini akan sangat melelahkan, karena seumur hidup kita hanya akan saling mengkhianati, mengagungkan nostalgia yang bodoh. Itu tak baik sama sekali. Maka aku memutuskan untuk keluar dari garis bodoh ini bersama anak-anak.”
Usai mengurai kalimat panjang itu, wajahnya kini serupa malam yang dingin tanpa senyuman.
“Secepat ini kau berubah?”
“Cepat atau lambat kita memang harus berubah. Dari bodoh menjadi cerdas.”
Malam melarutkanku dalam ketidakberdayaanku untuk bicara lagi.
“Kalau kau masih bisa mencuri kesempatan menikmati cinta berbeda dengan kebohongan tak tercium, mungkin kau akan mengatakan itu cerdas, tapi ketika Maharani melakukan itu padamu, kau tahu bahwa itu adalah kebodohan yang melukai dan tak termaafkan. Meskipun aku sudah membalas apa yang dilakukan Harman, tapi rasanya aku malah melukai anak-anak.”
“Mereka tak tahu apa-apa.”
“Mereka tumbuh menjadi besar, jangan lupa itu,” tepisnya, “kau sendiri, apa yang kau pikirkan tentang Maharani sekarang?”
------
Maharani tersenyum menyambutku, seperti biasa. Aku tak bisa tersenyum - dengan kemenangan seperti biasa, tapi diam. Kurasa seharusnya aku tahu bahwa dia selalu menyambutku dengan senyum kemenangannya sendiri, dan aku dengan bodoh berpikir, aku satu-satunya yang memiliki kemenangan.
“Aku kalah...” aku berujar.
“Kalah?”
“Kau tetap bisa tersenyum, dan aku tidak.”
“Kau bicara tentang apa?”
“Sudahlah. Kau bicara banyak dengan Dyah Ayu bukan? Dia juga bicara banyak padaku.”
Maharani tetap tersenyum. Benar kata Dyah Ayu, Maharani jauh lebih stabil dariku.
Tiba-tiba aku teringat kata-kata Dyah Ayu tentang garis bodoh diantara kami berempat. Maharani dan Harmanlah yang rasanya memenangkan permainan bodoh ini. Apapun yang terjadi, mereka akan saling memilih. Dyah Ayu mungkin sama denganku, tapi sepertinya dia memiliki kemenangannya sendiri dengan pilihannya pada anak-anak dan pilihannya keluar dari garis bodoh ini.
Seketika aku merasa, aku adalah yang terbodoh. Satu-satunya yang tak punya pilihan.

0 komentar:

Posting Komentar