Asal Cuap : Mendadak Becak

Ketika wabah datang ekonomi mulai terguncang. Semua merasakan imbasnya tanpa kecuali. Tanpa kecuali? tidak. Pegawai negeri sipil tetap tersenyum-senyum. 

Yang paling meringis - lagi-lagi - ya orang kecil. Jika pengusaha dengan kegiatan ekonomi besar saja terguncang bahkan ada yang kolap, apalagi orang kecil dengan kegiatan ekonomi kecil.

Seperti tukang becak. Di kota kecil tempat kami tinggal, becak masih ada, karena penumpangnya pun masih ada, yaitu ibu-ibu pedagang pasar dan orang sepuh yang masih senang dengan romantika masa lalu dengan kemana-mana naik becak.

Sebelum wabah datang, tukang-tukang becak biasa terlihat di seputaran pasar, rumah sakit, dan halte bus. Dari hari ke hari tukang becak itu-itu saja dan nyaris semuanya sudah sepuh. Kecenderungannya semakin berkurang jumlahnya.

Tapi ketika wabah datang, jumlah tukang becak mengalami peningkatan yang cukup pesat. Bahkan banyak penarik becak baru - kalau tak boleh dikatakan dadakan - kebanyakan jauh lebih muda dari tukang becak sebelum wabah datang.

Tukang-tukang becak itu banyak berkumpul bukan di seputaran tempat yang biasa seperti sebelumnya, tapi di dekat kantor bupati, rumah dinas bupati, kantor dprd. Apa karena banyak penumpang becak di masa wabah? Tidak. Wabah datang penumpang hilang. So, kenapa jumlah tukang becak malah meningkat?

Karena banyak orang (kaya) bersimpati pada orang-orang kecil seperti tukang becak sepuh yang terdampak adanya wabah. Mereka membagikan sembako dan terkadang uang pada tukang-tukang becak.

Nah, inilah yang menjadi magnet mengapa tukang becak bertambah jumlahnya di masa wabah. Para 'mendadak becak' ini tidak tertarik mencari penumpang, tapi tertarik pada paket-paket sembako yang dibagikan orang-orang yang bersimpati pada tukang becak.

Mereka ini, para mendadak becak ini, mangkal di tempat di mana biasanya ada pengendara mobil baik hati berbagi rejeki. Menariknya, di bulan puasa di tengah masa wabah, ada lebih banyak orang yang bersimpati dan berbagi. Makin cuanlah para mendadak becak ini.

Setiap petang, mereka pulang dengan setidaknya paket-paket sembako di dalam plastik di atas jok becak mereka dan mungkin juga uang sedekah di kantong mereka.

Wah...

Memang. Ini juga merupakan efek dari wabah yang mengguncang ekonomi. Beberapa orang mencoba mengambil keuntungan. Profesi tukang becak dengan tampang memelas bisa menjadi senjata ampuh untuk mendapat sembako gratis dari orang-orang yang bersimpati dan berbagi.

Untuk mereka yang setia menekuni profesi tukang becak sejak lama dan terus bertahan, maka itu adalah rejeki untuk mereka. Tapi untuk para 'mendadak becak' yang turun ke jalan untuk berburu paketan, itu 'rejeki juga'. Entahlah. Profesi tukang becak ternyata tak main-main. Terlihat memelas tapi sanggup mendulang simpati yang berbuah sembako dan uang sedekah. Tak heran jika banyak yang rela 'numpang melas' demi mendapat sembako gratis dan uang sedekah.

Jadi, bukan cuma pegawai negeri sipil saja ya, yang bisa tersenyum di masa wabah?

0 komentar:

Posting Komentar